Senin, 08 November 2010

Ekonomi Unggulan

NASIB KOMODITI UNGGULAN NTT

Harian Umum Pos Kupang, 30 Juni 2009 kembali menguak penyakit yang telah menahun (su tua di badan), yakni petani kecil NTT yang menderita karena harga jual komoditi yang rendah, pengijon dan lintah darat serta debt collector merajalela, dan tidak ada yang 'merasa berdosa'. Semua tenang-tenang saja.
Komoditi unggulan yang mimpinya menjadi andalan dan harapan petani ketika pertama kali dikumandangkan, diproyekkan, ditender, dipidatokan, diupacarakan, di- 'kampanyekan', setelah berbuah, menghasilkan buah yang pahit.
Pengembangan komoditi unggulan/andalan, sudah merupakan suatu strategi nasional/regional yang diharapkan menjadi pendorong utama (prime mover) bagi pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, yang berbasis pertanian. Pada umumnya negara-negara tersebut tidak sekadar mengembangkan komoditi unggulan hanya berdasarkan kebiasaan atau feeling atau ikutan-ikutan saja, tetapi umumnya menggunakan pendekatan cluster industry, yang merupakan suatu studi yang komprehensif/lintas sektor/holistik, dengan pola pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan. Dalam kluster industri, seluruh proses dimulai dari bibit, tanam, panen, olah, jual serta hambatan maupun peluang yang ditemui sepanjang perjalanan tersebut, dirancang dalam suatu 'gugus komoditi' sehingga semua sektor terkait, semua aspek fisik dan non fisik telah diidentifikasi, dianalisa dan dipersiapkan dalam suatu skenario dari hulu (up stream) hingga hilir (down stream) bahkan hingga tingkat konsumen.
Contoh sederhana: Malaysia mengembangkan komoditi kakao, nenas, kepala sawit, dll, tidak dimulai dengan slogan atau jargon seperti "Ayo kita Kakao-kan Malaysia, atau kembalikan harum Nenas Malaysia". Tidak.
Mereka mulai dengan: 1) studi cluster komoditi, 2) mandirikan lembaga pembina dan pengembang hingga tingkat distrik, yakni dengan membentuk kantor/lembaga, antara lain 'pineappel authority, coco authority, palm oil authority', 3) berdasarkan cluster komoditi dan dinamika pasar global, maka pemerintah secara pro-aktif menciptakan iklim usaha dan daya saing secara profesional melalui operasi/intervensi fiskal dan non fiskal, serta kemudahan lainnya, untuk menjamin bahwa komoditi tersebut dapat bersaing di pasaran.
Contoh sederhana, hari-hari terakhir ini produk minyak kelapa sawit Indonesia sulit menembus pasar Pakistan, karena kalah bersaing dengan Malaysia, yang lewat lobi Pemerintah Malaysia berhasil memperoleh pajak ekspor 0%, sementara produk minyak kelapa sawit kita dikenakan pajak masuk 6%. Demikian pula produk ikan, udang bahkan tekstil, yang lewat intervensi, pemerintah maupun negara-negara Asia tertentu memperoleh pembebasan pajak bea masuk dan jelas bersaing di pasar Eropa dan Amerika.


Pengembangan Komoditi Unggulan
Indonesia, khususnya NTT, juga sudah beranjak ke arah yang sama, yakni mengembangkan komoditi unggulan/andalan tertentu, yang diharapkan menjadi prime mover bagi peningkatan pendapatan atau lapangan kerja, dan lain-lain. Cuma bedanya adalah kita memulainya tidak dengan 'studi' dan tidak diiringi dengan skenario 'pembinaan/pengembangan/pemantauan berkelanjutan', tetapi kita mulai dengan pidato, kampanye, slogan, jargon, dan lain-lain diakhiri dengan 'proyek'. Ujung-ujungnya proyek.
Masih segarkah dalam ingatan kita ketika di awal tahun 80-an, kita demam komoditi 'lamtorogung' baik untuk penghijauan, pakan ternak, bahkan untuk energi alternatif? Ketika hama lamtorogung datang, tamatlah. Demikian pula dengan apel, hama apel tiba, selesai.
Juga hari-hari terakhir ini, masih hangat badan kita dengan demam komoditi jatropha (jarak pagar), lalu katanya ubi kayu (aldira?), lalu jagung dengan tema "Jadikan NTT sebagai Propinsi Jagung", lalu ternak sapi dengan tema "Kembalikan NTT sebagai gudang ternak", lalu, cendana dengan tema yang seksi "Kembalikan baun cendana", dan diiringi dengan semangat jadikan NTT Propinsi Koperasi, dan entah tema apa lagi yang populis yang akan digulirkan.
Berhadapan dengan persaingan global yang 'kejam', kita tidak mungkin menyerahkannya pada petani kecil yang sederhana. Kita butuh aparat yang profesional yang inovatif (re-inventing government) yang untuk kasus NTT ditunjang oleh perguruan tinggi yang ada, LSM atau tenaga profesional (out sourching) untuk mendisain ulang komoditi unggulan NTT, antara lain dengan 'pendekatan cluster industry'. Memulai studi dengan pendekatan cluster industry terhadap suatu komoditi tertentu, yang kita jadikan sebagai 'komoditi unggulan' sudah merupakan kebutuhan yang mendesak.
Dalam perjalanan waktu, hambatan-hambatan pemasaran baik yang bersifat fiskal maupun non fiskal adalah tugas negara/pemerintah untuk mengintervensi hambatan tarif maupun non tarif serta hambatan lainnya dibantu oleh dunia usaha terkait.
Bukan berita lagi bahwa pengaruh globalisasi dan liberalisasi ekonomi, nasib dari hampir semua komoditi unggulan sepertinya 'ditentukan' oleh 'mafia komoditi' atau 'perjanjian bilateral' atau 'asosiasi komoditi'. Contoh: walaupun Indonesia merupakan penghasil buah pala terbesar di dunia, tetapi asosiasi pala ditentukan oleh negeri Ghana, kakao/coklat di negeri Belanda, jambu mete di India. Jangan heran kita menanam jambu mete di Flores, tetapi harga pasar dunia untuk jambu mete dalam tanda kutip didikte dan diatur oleh India.


Citra Populis
Kalau untuk kebutuhan promosi pariwisata, memang 'citra' daerah sangat perlu ditonjolkan. Contoh: "Kupang Green and Clean", dan sebagainya. Tetapi untuk pengembangan ekonomi lain dan khususnya komoditi unggulan, lupakan citra di awal perjalanan. Jangan meniru jargon anak remaja tempo ini: 'biar miskin asal sombong'.
Yang penting bukan NTT 'gudang' ternak, tetapi apakah pendapatan peternak NTT akan meningkat? Apakah itu pengalaman NTT sejak dulu? Bukankah dulu, yang kaya adalah 'saudagar hewan?' Yang penting adalah apakah melalui ternak sapi rakyat NTT akan dan pasti sejahtera, dan bagaimana strateginya.
Apa gunanya 'bau cendana' kalau selama ini hanya pedagang dan industri kayu cendana yang kaya, sementara petani di pinggir pohon cendana sengsara? Apa gunanya 'bau cendana' kalau perut lapar? Yang dibutuhkan adalah studi dan analisis serta desain program komoditi cendana, yang ujung-ujungnya menguntungkan rakyat. Soal 'bau' dengan sendirinya menyusul.
Apa gunanya 'jatropha' kalau 'belum jelas' siapa yang diuntungkan (who is the benneficiary), processor, pedagang pengumpul, atau petani? Kalau petani untung, berapa untungnya? Kalau sudah ketahuan berapa untungnya petani per hektar, mari kita bandingkan dengan income per hektar untuk komoditi lain, mana yang lebih menguntungkan? Itu yang dikembangkan. Jangan ada 'paksaan' untuk komoditi tertentu.
Apa gunanya 'Propinsi Koperasi' kalau kita tahu bahwa koperasi memang baik untuk meningkatkan kesejahteraan anggota, tetapi tidak semudah itu kalau kita menampilkan koperasi sebagai unit usaha profesional yang mampu mengejar 'profit' yang tinggi dan 'bersaing' dengan perusahaan sejenis. Tidak semudah itu. Koperasi kredit yang lagi demam di NTT, sebagian besar beroperasi secara kapitalis. Koperasi tersebut sekadar memenuhi persyaratan administratif, tetapi siapa saja, kapan saja, yang membutuhkan kredit (dengan bunga tinggi) dan tanpa sepengetahuan dirinya, dia 'otomatis' menjadi anggota koperasi (tanpa kartu anggota, tanpa perlu menghadiri RUA). Kredit lunas, keanggotaannya otomatis berhenti. Koperasi cuma 'alat' dan bukan 'tujuan', (yang penting kopinya, bukan cangkirnya).
Rangkaian pertanyaan tersebut bukannya kondisi untuk dibahas dari sisi politis, atau sekadar wacana diskusi biasa, tetapi perlu dipahami dan dijawab secara teknis-profesional dan detail. Kalau kita bicara tentang komoditi 'bambu', datangkan expert bambu, kalau jagung, expert jagung, kalau perlu ada kantor (otorita) bambu, otorita jagung hingga kabupaten/kecamatan, yang kerjanya, ya itu, komoditi itu, fokus!
Saran saya, usulan saya sederhana. Pertama, siapkan master plan setiap komoditi unggulan (cluster industry) dengan mengikutsertakan departemen terkait/pusat penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, bahkan pembicara tamu atau ahli dari luar negeri, atau studi banding ke luar negeri.
Kedua, siapkan lembaga pengembangan komoditi, kantor khusus untuk masing-masing komoditi, dari tingkat propinsi hingga tingkat kecamatan yang dilengkapi dengan tenaga spesialis komoditi dan staf lintas sektor.
Ketiga, karena kegiatan ini membutuhkan anggaran yang besar, maka 'jual' program tersebut pada pemerintah pusat, bahkan ke lembaga internal, negara donor, dan lain-lain, sebagai bagian dari 'Marshall Plan for NTT' dalam memerangi kemiskinan, nyatakan perang terhadap kemiskinan. Siapa takut?
Keempat, ujung-ujungnya adalah benefit bagi peningkatan pendapatan masyarakat dan perluasan lapangan kerja di NTT (cukup sudah penderitaan Nirmala Bonat dan Modesta di Malaysia).
Kelima, pembangunan adalah 'perubahan'. Berubah atau mati, berubahlah atau diubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar